Rabu, 10 November 2010

Sistem Asuransi yang Memprihatinkan


 “Sehat itu mahal” barangkali ungkapan tersebut yang paling sesuai menggambarkan kondisi sistem kesehatan di Indonesia. Sistem Pay for service, bayar dulu baru dilayani dan berbagai birokrasi administratif lainnya masih mengakar di sistem yang sangat vital ini. Hal ini sangat tidak kompatibel dengan pelayanan medis, karena saat sakit terlebih dalam kondisi emergensi, idealnya tidak mungkin menunggu uang dulu baru mendapatkan tindakan medis. Namun perlu digaris bawahi, badan-badan penyedia kesehatan seperti rumah sakit, apotek, dll merupakan lembaga profit yang menjual layanan kesehatan, bukan bukan lembaga sosial yang berorientasi untuk beramal. Ironis memang, tapi itulah hukumnya, agar dapat terus survive, komersialisasi layanan kesehatan merupakan sesuatu hal yang tak dapat dipungkiri.
Merespon kondisi tersebut, sistem asuransi merupakan salah satu jalan keluarnya. Pemerintah mengadakan berbagai bentuk asuransi; askes, jamsostek, askeskin sampai JamKesMas. Namun sayangnya, seperti yang dilaporkan World Bank, program-program asuransi yang dijalankan pemerintah masih terkesan setengah-setengah, hanya sepertiga penduduk yang dilindungi asuransi kesehatan formal, itupun mereka masih harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi. Imbasnya, kaum miskin masih kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibiayai pemerintah. sebanyak 20 persen penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10 persen total subsidi kesehatan pemerintah sementara 20 persen penduduk terkaya menikmati lebih dari 40 persen.
Dari riset yag dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan judul Citizen Report Card (CRC) yang berfokus pada Jaminan Kesehatan Masyarakat, setidaknya ada 6  permasalahan yang perlu menjadi perhatian kita semua. Pertama, belum akuratnya data peseta JamKesMas. Dari 868 responden terdaftar yang dipilih secara acak dijumpai 12,4 persen tidak memiliki kartu. Ada pula 3 % meninggal dunia, pindah alamat 3,1 %, nama tidak dikenal 9,9 persen serta 22,1% responden tidak dapat diverifikasi. Seharusnya quota bagi peserta yang meninggal dunia dapat dialihkan ke masyarakat miskin lain yang membutuhkan. Kedua, Sosialisasi yang belum optimal. 25,8 persen dari responden tidak mengetahui apa itu jamkemas. Hal ini menunjukkan kampanye besar-besaran oleh Menteri Kesehatan melalui media elektronik dan cetak (TV dan Koran) belum efektif. Ketiga, masih adanya pungutan dalam mendapatkan kartu. Untuk mendapatkan kartu, peserta masih dipungut biaya (7,5%). Rata-rata pungutan sebesar Rp 10.000. Aktor penarik pungutan ini 44,6% adalah ketua RT/RW dengan dalih pengganti biaya transportasi dan sumbangan sukarela. Keempat, masih dijumpai peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat. Dari hasil riset ini diketahui bahwa 23 persen responden tidak menggunakan kartu ketika berobat. Adapun alasan mengapa tidak menggunakan kartu ialah tidak tahu jika dengan kartu itu, pengobatan di RS dan puskesmas gratis, takut ditolak RS/puskesmas, administrasi akan dipersulit, mendapatkan pelayanan yang buruk. Kelima, masih ada pasien jamkesmas yang mengeluarkan biaya. Keenam, kualitas pelayanan pasien jamkesmas masih buruk. Adanya antrian panjang pendaftaran, sempitnya ruang tunggu, rumitnya administrasi dan lamanya menunggu dokter menjadi hambatan pelayanan jamkesmas.
Program-program pembiayaan kesehatan yang dijalankan pemerintah selama ini sudah lumayan baik, namun masih dibutuhkan totalitas dalam teknis pelaksanaannya. Selain itu, dalam system asuransi ini, ada baiknya pemerintah juga melibatkan pihak asuransi swasta, karena disebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan. Semoga ini menjadi introspeksi untuk ita semua agar pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan harga terjangkau dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar