Rabu, 01 Desember 2010

Dokter sebagai tenaga kesehatan


Menjadi seorang dokter adalah sebuah aktivitas mulia bila dilandasi dengan niat yang baik. Selain mempelajari berbagai macam teori mengenai penyakit dan obat-obatan yang sangat detail, seorang dokter juga perlu belajar cara berinteraksi dengan orang lain, agar dapat memberikan pelayanan holistik pada pasiennya.

WHO menetapkan 5 standar dokter ideal yang dirangkum dalam “ 5 stars doctor”, antara lain:
  1. Health care provider (penyedia layanan kesehatan) yaitu kemampuan dokter sebagai tenaga medis, memberikan tindakan terhadap keluhan-keluhan pasiennya. Tindakan kesehatan yang dilakukan dapat berupa kuratif, preventif, promotif dan rehabilitatif.
  2. Decision maker (pembuat keputusan), salah satu peran seorang dokter yaitu memberikan keputusan terhadap suatu permasalahan, yang sudah ditimbang dari sudut pandang medis dari ilmu yang dikuasainya.
  3. Community leader (pemimpin komunitas), didalam lingkungan bermasyarakat, seorang dokter harus dapat mengayomi masyarakat untuk dapat hidup sehat, dapat menjadi contoh bagi komunitas disekelilingnya
  4. Manager (manajer), adakalanya seorang dokter akan menjadi pemimpin dari sebuah lembaga kesehatan (puskesmas, DinKes atau Rumah Sakit), untuk itu, kemampuan mengelola sistem, staf, dan berkolaborasi dengan struktur lembaga merupakan sesuatu yang perlu dimiliki oleh setiap dokter.
  5. Communicator (penyampai), memutuskan untuk menjadi seorang dokter, berarti memutuskan untuk menjadi pekerja sosial, yang berhubungan dengan manusia. Di masyarakat, dokter merupakan sosok panutan, lantaran karena ilmunya yang luas dan kepeduliannya terhadap hidup sesama. Untuk itu, keterampilan berkomunikasi, menyampaikan sesuatu dengan baik merupakan softskill yang harus dimiliki setiap dokter
Dalam menghadirkan pelayanan kesehatan, seorang dokter akan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya, antara lain perawat, ahli gizi, ahli farmasi, bidan, sanitarian dan petugas administratif. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang area kerja masing-masing disiplin ilmu, agar tidak saling tumpang tindih dan menimbulkan konflik lintas profesi. 

Semisal di Rumah Sakit, seperti yang tertulis dalam UU no. 44, th 2009 tentang Rumah Sakit, Penjelasan Bab Umum:  
“Di dalam rumah sakit berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan masing-masing berinteraksi satu sama lain . Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit”

Dalam rangka mengefektifkan kolaborasi sesama tenaga kesehatan, ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan, antara lain:
  1. Otonomi
  2. Komunikasi
  3. Responsibilitas
  4. Kooperasi
  5. Kesamaan visi
  6. koordinasi
  7. Mutualitas
  8. Assertifitas
Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, diharapkan setiap tim dalam pelayanan kesehatan dapat bekerja lebih maksimal dengan konflik seminimal mungkin.


Referensi:
Lecture “LEADERSHIP AND TEAMWORK IN HEALTH SERVICES” Budi Mulyono
WHO
UU no. 44, th 2009 tentang Rumah Sakit

Sabtu, 27 November 2010

Bencana part3: Bersahabat Dengan Bencana

Menurut UU Republik Indonesia no 24 Tentang Penanggulangan Bencana, “ Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

Pendekatan terhadap bencana dapat dibagi menjadi beberapa keadaan:
  • HAZARD : sesuatu yang mengandung energi / mengancam, misal: gunung api
  • EVENT : perwujudan/ realisasi dari hazard, misal: Gunung meletus, tsunami
  • IMPACT : kontak / bertemunya event dengan masyarakat yang berisiko, misal: masyarakat lereng gunung, masyarakat tepi pantai
  • DAMAGE : dampak negatif yang terjadi
     
Sementara itu, apakah suatu keadaan dikatakan bencana (disaster) atau tidak, didasarkan pada keterkaitannya dengan perubahan fungsi sosial di masyarakat. Apabila membutuhkan bantuan dari luar, maka dapat dikatakan bencana (disaster), namun bila tidak, maka merupakan peristiwa (event) saja.

Hidup di wilayah rawan bencana seperti Indonesia, manajemen bencana seharusnya mendapat prioritas lebih. Walaupun yang namanya bencana datang sekali-sekali dan tidak pasti, pengetahuan mengenai bencana dan penanggulangannya harus menjadi perhatian semua lapisan masyarakat agar dampak yang terjadi dapat seminimal mungkin.

Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh dalam manajemen bencana dapat digolongkan menjadi 3 tahap:
1.Pra bencana: berupa kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan peringatan dini
2.Saat bencana: mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, berupa Search and Rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian
3.Pasca bencana: berupa kegiatan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi

Dari ketiga tahapan tersebut, tahap pra-becana merupakan titik lemah dalam manajemen bencana. Mitigasi, yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan suatu bencana, harus menjadi fokus kerja manajemen pra-bencana (persiapan).

Mitigasi dapat dilakukan dalam 2 bentuk:
  • Mitigasi struktural: memperkokoh rekonstruksi bangunan (infrastruktur) yang berpotensi terkena bencana, seperti membangun penyokong dinding pantai, bangunan penahan longsor, dll 
  • Mitigasi non-struktural: menghindari membangun pemukiman di daerah rawan bencana dan relokasi ke daerah yang relatif lebih aman
     
Dalam rangka memaksimalkan kinerja mitigasi bencana, ada 3 unsur utama yang perlu diperhatikan:
1.Penilaian bencana (Hazard assessment): berupa identifikasi populasi dan asset yang terancam beserta tingkat ancamannya. Output dari penilaian ini yaitu Peta Potensi Bencana yang penting untuk kedua unsur mitigasi selanjutnya.
2.Peringatan (Warning) : bertujuan member peringatan pada masyarakat mengenai bancana yang mengancam. Komunikasi yang cepat dan tepat sangat diperlukan dalam peringatan bencana.
3.Persiapan (preparedness) : penentuan kapan saatnya evekuasi dan kembali setelah keadaan aman merupakan hal yang sangat vital. Kepedulian dan koordinasi antara masyarakat dengan pemerintah juga dapat mengurangi dampak akibat bencana.


Referensi:
Lecture “Conceptual Frame work of Disaster and Disaster Management” by Hendro Wartatmo
Manajemen dan mitigasi

Senin, 22 November 2010

Bencana part2: Relawan, ya harus Rela !!

Sederet bencana yang baru saja terjadi di negeri ini, banjir Wasior, tsunami Mentawai dan meletusnya gunung merapi di Yogyakarta meninggalkan banyak luka bagi para korban dan juga semua warga Indonesia, membutuhkan proses penanganan yang sering disebut manajemen bencana. Dalam setiap manajemen bencana, tentu tidak akan terpisahkan dari peran relawan, yaitu orang yang secara spontan dan sukarela membantu para korban bencana. Memang, aktivitas sebagai seorang relawan sangatlah mulia, namun kita juga perlu memurnikan istilah relawan dari oknum-oknum yang sekedar memanfaatkan “titel” tersebut.

Begitu memprihatinkan, bencana yang seharusnya menjadi aktivitas sosial yang mengedepankan aspek kemanusiaan, malah dibumbui ajang kampanye politik dan misi-misi terselubung lainnya, seringkali ditemukan siimbol atau lambang partai berjejer di area bencana. Praktik korupsi juga mewarnai manajemen bencana di beberapa daerah. Besarnya dana bantuan dari pemerintah maupun sumbangan masyarakat tak jarang mengalir ke tempat yang tidak seharusnya.

Selain itu, bencana terkadang juga dijadikan ajang eksperimen, terutama bagi tenaga kesehatan yang belum mendapatkan sertifikasi kelayakannya memberikan pelayanan medis, dan memanfaatkan momen ini untuk mencari pengalaman atau skills yang mungkin tidak ditemukan dalam pendidikan formal. Namun berbeda dengan kasus korupsi dan kampanye politik, kondisi seperti ini sangatlah dilematis, di satu sisi para calon tenaga kesehatan belum pantas dan dikhawatirkan malah akan membahayakan kondisi korban, namun disisi lain setiap bencana selalu kekurangan tenaga medis, sehingga membutuhkan perekrutan tambahan dari calon tenaga medis, meskipun belum tersertifikasi.

Pada dasarnya, terdapat 4 komponen yang perlu diperhatikan sebagai relawan:
  • KEMAUAN, seseorang yang berniat menjadi relawan sudah seharusnya karena keinginan sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak lain apalagi karena pertimbangan uang. Seorang relawan adalah orang yang tergerak hatinya karena ada kewajiban moral yang harus dipenuhi sebagai manusia kepada sesamanya yang sedang tertimpa musibah.
     
  • PROFESIONALISME, seorang relawan harus memiliki skill tertentu yang bisa dimanfaatkan di area bencana, misal, sebagai tenaga kesehatan harus memenuhi syarat sebagai tim medis, lebih baik apabila ada setifikasi untuk skill yang dimiliki. Aspek profesionalisme lainnya yang diperlukan relawan adalah keterampilan komunikasi, penyampai informasi yang baik.
     
  • MOTIVASI, setiap relawan harus membebaskan dirinya dari kepentingan atau misi terselubung. Niat menjadi kunci dari profesionalisme setiap relawan, pelayanan tidak akan maksimal jika dibumbui misi terselubung,
     
  • KERJASAMA, penanganan bencana akan sulit dilakukan apabila setiap relawan bekerja secara individualistis. Dibutuhkan kerjasama yang apik dalam penanganan bencana. Koordinasi dari setiap fungsi yang terlibat juga sangat vital terhadap efektifitas kerja, karena permasalahan umum dari setiap manajemen bencana adalah tidak adekuatnya sistim kontrol dan koordinasi dari setiap relawan.
Menjadi tugas pemerintah untuk memaksimalkan sumber daya yang ada (mengerahkan tenaga-tenaga yang tersertifikasi), mendistribusikan bantuan ke area bencana yang membutuhkan, juga menindak keras pihak-pihak yang memanfaatkan momen bencana untuk kepentingan pribadi/kelompok. Sebagai contoh, pemerintah menganggarkan Rp. 400 Miliar untuk pemulihan dampak Merapi, Rp.509 Miliar untuk rehabilitasi-rekonstruksi di Wasior dan Mentawai, jumlah yang teramat besar, mengundang praktek korupsi untuk mewarnai pendistribusian dana tersebut. Karena itulah, tugas kita semua , masyarakat dan pemerintah untuk senantiasa memonitor transparansi aliran dana agar bantuan bencana tersampaikan .

Semoga  proses pemulihan bagi korban bencana segera terlaksana, dan para relawan agar senatiasa meluruskan kembali niatnya sehingga misi kemanusiaan yang dilakukan berbuah hasil maksimal.



Referensi:
Lecture RAPID RESPONSE TEAM—Hendro Wartatmo
VivaNews

Selasa, 16 November 2010

Bencana part1: Ini Jenazah Siapa?


Bencana alam tak henti-hentinya menerjang negeri ini, banjir Wasior, Tsunami Mentawai dan Merapi Jogja silih berganti mengisi pemberitaan di berbagai media. Tak heran, rawannya Indonesia untuk terjadi bencana disebabkan posisi Indonesia secara geologi yang terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yakni: lempeng ausralia di selatan, lempeng euro-asia di barat dan lempeng samudra pasifik di timur yang memfasilitasi untuk terjadinya bencana.

Setiap bencana alam yang terjadi tak hanya menimbulkan kerugian harta benda dan infrastruktur, namun juga merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Saat evakuasi, banyak orang yang terpisah dan kehilangan anggota keluarganya. Korban-korban bencana yang ditemukan meninggal saat pencarian seringkali sulit dikenali. 

Proses identifikasi korban bencana memerlukan data ante mortem dan data post mortem. Data ante mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa. Adapun data post mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban.
Dalam ilmu kedokteran forensik, ada beberapa teknik untuk membantu mengidentifikasi korban bencana, antara lain:
  1. Karakteristik morfologi, yaitu dengan memperhatikan cirri-ciri umum korban, dan menyocokkannya dengan informasi tentang korban, misal dengan mengukur tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna kulit, ras dan pakaian maupun perhiasan yang digunakan korban.
  2. Sidik jari, didapat dari bagian kulit yang mengalami deskuamasi
  3. Odontologi forensik, yaitu identifikasi identitas korban dari profil gigi. Odontologi forensik, sangat penting pada bencana besar, karena gigi merupakan jaringan terkeras dan paling tahan terhadap proses dekomposisi dan pembakaran, sehingga identifikasi dapat dilakukan.
  4. Identifikasi dari jaringan asal atau sampel, misal, untuk mengidentifikasi saliva, semen, darah yang terdapat disekitar korban berasal dari korban atau pelaku kejahatan.
  5. Individualitas sel, dengan mencocokkan tes terhadap sel tertentu dari korban, misal, sistem ABO pada darah.
  6. Identifikasi dari profil DNA, tes DNA yang mana sampelnya bisa didapat dari sel darah putih, rambut , spermatozoa, dll.
  7. Tato dan anting, maraknya trend tato dan anting yang mengandung makna tertentu dapat membantu proses identifikasi korban.
  8. Identitas dari sisa skeleton, mengidentifikasi korban berdasarkan sisa tulang yang tertinggal, misal, penentuan jenis kelamin korban dari pelvis yang tertinggal, penentuan umur korban dari femur.
  9. Rekonstruksi wajah, rekonstruksi terkomputerisasi, dimana foto skeleton akan “ditempelkan” jaringan secara elektronik.
Proses identifikasi korban merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari manajemen bencana. Keluarga korban memerlukan informasi mengenai kematian korban dan juga untuk dikuburkan serta pelaksanaan ritual-ritual yang berlaku dimasyarakat. Oleh karena itu, seharusnya di setiap wilayah di Indonesia, memiliki tim identifikasi korban bencana (Disaster Victims Identification/DVI). Keberadaan tim DVI di setiap wilayah berisiko bencana sangat penting untuk mengatasi kendala waktu dan transportasi saat terjadi bencana alam (natural disaster) maupun bencana yang disebabkan manusia (man made disaster). Identifikasi korban bencana diperlukan untuk menegakkan HAM, membantu proses penyidikan dan memenuhi aspek legal sipil.

Referensi:
SIMPSON’S FORENSIC MEDICINE 12th ED, 2003

Sabtu, 13 November 2010

Awas Flu Burung


Flu burung, yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dunia kesehatan, merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus influenza dengan subtipe H5N1. Gejala-gejala orang yang terinfeksi virus ini antara lain: demam, menggigil dan pegal-pegal (myalgia) yang rata-rata, masa inkubasi sampai munculnya gejala-gejala tersebut adalah 2 hari (interval 1-4 hari) dari awal terpapar virus. Apabila tidak ditangani dengan serius, komplikasi yang akan muncul yakni pneumonia sekunder bakteri, pneumonia viral, myocarditis dan encephalitis.

Penamaan virus influenza didasarkan pada tipe protein permukaan, Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Hemaglutinin berfungsi membantu virus memasuki sel, terdapat 20 varian atau subtipe. Sementara neuraminidase, berfungsi membantu virus keluar dari sel dan menginfeksi sel lain, terdapat 9 varian atau subtipe.

Transmisi influenza dapat melalui 3 cara, antara lain: Transmisi kontak (misal saat berciuman), penyebaran droplet ( misal saat batuk atau bersin) dan penyebaran aerosol ( jarang, mungkin pada lingkungan padat). Terapi dan profilaksis untuk pasien yang terkena flu burung dapat berupa Adamantanes (rimantadine, amantadine) dan juga inhibitor neuraminidase (zanamivir, oseltamivir).

Mencegah lebih baik daripada mengobati, menanggapi munculnya kasus flu burung di Indonesia, pemerintah tidak tinggal diam Terdapat 6 strategi yang ditetapkan pemerintah dalam mencegah pandemi dari flu burung, antara lain:
  1. Penguatan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), hal ini dimaksudkan agar penyebaran virus dari luar dapat dicegah. Indonesia memiliki 48 kantor kesehatan pelabuhan, dan 25 diantaranya mempunyai akses internasional. Langkah-langkah yang ditempuh diantaranya memberlakukan health alert card, pemasangan thermal scanner, penyiapan alat pelindung diri dan pemantauan setiap penumpang yang datang.
  2. Logistik (terutama obat dan Alat pelindung diri), penyediaan obat tamiflu dan mendistribusikan ke setiap puskesmas.
  3. Penyiapan Rumah sakit, berupa penyediaan ruang isolasi, penetapan prosedur diagnosis dan terapi danmempersiapkan petugas kesehatan yang terampil.
  4. Penguatan surveilans epidemiologi, berupa pengintesifan surveilans Influenza Like Illness (ILI) di 20 puskesmas sentinel, intensifikasi surveilans di pelabuhan laut dan udara, terutama pelabuhan/bandara Internasional, menambah lokasi sentinel ILI di 25 puskesmas baru dan surveilans di masyarakat.
  5. Penguatan laboratorium, berupa pengintesifan laboratorium regional dan pemenuhan reagensia.
  6. Komunikasi edukasi dan informasi, berupa pembuatan spanduk di tempat-tempat umum, pembuatan stiker/pamflet/brosur dan media publikasi lainnya, mengadakan jumpa pers dan pers release secara berkala dan memberdayakan masyarakat melalui desa siaga.
Dalam rangka mengeradikasi keberadaan flu burung di indonesia, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu sigap dan tegas menjalankan kebijakan yang telah dibuat dan masyarakat haru mendukung program-program yang telah ditetapkan pemerintah, menjaga kebersihan, mencuci tangan dan menggunakan masker saat flu perlu digalakkan oleh seluruh lapisan masyarakat agar transmisi virus influenza dapat dicegah.


referensi:
Lecture New Emerging disease: Avian Influenzae-Coronavirus/SARS, dr. Titik Nuryastuti M.Si, PhD.


Rabu, 10 November 2010

Sistem Asuransi yang Memprihatinkan


 “Sehat itu mahal” barangkali ungkapan tersebut yang paling sesuai menggambarkan kondisi sistem kesehatan di Indonesia. Sistem Pay for service, bayar dulu baru dilayani dan berbagai birokrasi administratif lainnya masih mengakar di sistem yang sangat vital ini. Hal ini sangat tidak kompatibel dengan pelayanan medis, karena saat sakit terlebih dalam kondisi emergensi, idealnya tidak mungkin menunggu uang dulu baru mendapatkan tindakan medis. Namun perlu digaris bawahi, badan-badan penyedia kesehatan seperti rumah sakit, apotek, dll merupakan lembaga profit yang menjual layanan kesehatan, bukan bukan lembaga sosial yang berorientasi untuk beramal. Ironis memang, tapi itulah hukumnya, agar dapat terus survive, komersialisasi layanan kesehatan merupakan sesuatu hal yang tak dapat dipungkiri.
Merespon kondisi tersebut, sistem asuransi merupakan salah satu jalan keluarnya. Pemerintah mengadakan berbagai bentuk asuransi; askes, jamsostek, askeskin sampai JamKesMas. Namun sayangnya, seperti yang dilaporkan World Bank, program-program asuransi yang dijalankan pemerintah masih terkesan setengah-setengah, hanya sepertiga penduduk yang dilindungi asuransi kesehatan formal, itupun mereka masih harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi. Imbasnya, kaum miskin masih kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibiayai pemerintah. sebanyak 20 persen penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10 persen total subsidi kesehatan pemerintah sementara 20 persen penduduk terkaya menikmati lebih dari 40 persen.
Dari riset yag dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan judul Citizen Report Card (CRC) yang berfokus pada Jaminan Kesehatan Masyarakat, setidaknya ada 6  permasalahan yang perlu menjadi perhatian kita semua. Pertama, belum akuratnya data peseta JamKesMas. Dari 868 responden terdaftar yang dipilih secara acak dijumpai 12,4 persen tidak memiliki kartu. Ada pula 3 % meninggal dunia, pindah alamat 3,1 %, nama tidak dikenal 9,9 persen serta 22,1% responden tidak dapat diverifikasi. Seharusnya quota bagi peserta yang meninggal dunia dapat dialihkan ke masyarakat miskin lain yang membutuhkan. Kedua, Sosialisasi yang belum optimal. 25,8 persen dari responden tidak mengetahui apa itu jamkemas. Hal ini menunjukkan kampanye besar-besaran oleh Menteri Kesehatan melalui media elektronik dan cetak (TV dan Koran) belum efektif. Ketiga, masih adanya pungutan dalam mendapatkan kartu. Untuk mendapatkan kartu, peserta masih dipungut biaya (7,5%). Rata-rata pungutan sebesar Rp 10.000. Aktor penarik pungutan ini 44,6% adalah ketua RT/RW dengan dalih pengganti biaya transportasi dan sumbangan sukarela. Keempat, masih dijumpai peserta yang tidak menggunakan kartu ketika berobat. Dari hasil riset ini diketahui bahwa 23 persen responden tidak menggunakan kartu ketika berobat. Adapun alasan mengapa tidak menggunakan kartu ialah tidak tahu jika dengan kartu itu, pengobatan di RS dan puskesmas gratis, takut ditolak RS/puskesmas, administrasi akan dipersulit, mendapatkan pelayanan yang buruk. Kelima, masih ada pasien jamkesmas yang mengeluarkan biaya. Keenam, kualitas pelayanan pasien jamkesmas masih buruk. Adanya antrian panjang pendaftaran, sempitnya ruang tunggu, rumitnya administrasi dan lamanya menunggu dokter menjadi hambatan pelayanan jamkesmas.
Program-program pembiayaan kesehatan yang dijalankan pemerintah selama ini sudah lumayan baik, namun masih dibutuhkan totalitas dalam teknis pelaksanaannya. Selain itu, dalam system asuransi ini, ada baiknya pemerintah juga melibatkan pihak asuransi swasta, karena disebagian besar wilayah Indonesia, sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan. Semoga ini menjadi introspeksi untuk ita semua agar pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan harga terjangkau dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Referensi:

Minggu, 07 November 2010

AIDS: Akibat Itunya Dipakai Sembarangan

Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang secara perlahan menurunkan kekebalan dan daya tahan tubuh seseorang sehingga tubuhnya akan digerogoti penyakit yang seharusnya bisa diobati pada keadaan normal (bebas HIV).


HIV/AIDS pertama kali diidentifikasi pada kalangan gay di San Francisco tahun 1981, lalu CDC (Centers of Disesase Control and Prevention) pada Desember 2002 menyatakan bahwa budaya seks bebas menjadi sarana penyebaran HIV/AIDS secara cepat.

Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali ditemukan di Denpasar, pada seorang turis Belanda dengan kecenderungan homoseksual yang kemudian meninggal April 1987. Orang Indonesia pertama yang meninggal dalam kondisi AIDS juga dilaporkan di Bali, Juni 1988. Data KPAN menunjukkan, tahun 1987 jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia masih 5 kasus. Dan hanya dalam tempo 10 tahun, bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 dan periode Juni 2009, meningkat hingga delapan kali lipat menjadi 17.699 kasus.(www.bkkbn.or.id/18/11/09).

Dalam menanggapi merebaknya kasus HIV/AIDS, pemerintah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) untuk menyusun kebijakan berupa strategi penanggulangan HIV/AIDS. Namun pada prakteknya program-program yang diadakan masih merujuk pada UNAIDS (United Nations Programme on HIV/AIDS) dan WHO (World Health Organization).

Diantara program-program penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan yaitu program KONDOMISASI, substitusi metadon dan pengadaan jarum suntik steril. Ratusan miliar rupiah dikeluarkan untuk program-program tersebut, namun ironisnya laju peningkatan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tak juga menurun, bahkan terjadi peningkatan signifikan ODHA di beberapa daerah.

Sangat memprihatinkan, musyawarah para ilmuan yang kerap kali diselenggarakan di berbagai belahan dunia, sama sekali tak pernah memberikan rekomendasi solusi untuk memberantas akar permasalahannya yakni mencegah perilaku dan kehidupan seks bebas. Konferensi-konferensi internasional yang membahas HIV/AIDS hanya berkutat pada isu-isu stigma masyarakat, diskriminasi sosial dan pelayanan bagi ODHA yang cenderung memanjakan pengidap AIDS, tanpa sedikitpun membahas mengenai pencegahan seks bebas yang notabene merupakan penyebab utama merebaknya HIV/AIDS selain penggunaan NAPZA.


KONDOMISASI: (bermaksud) Memecahakan masalah, dengan masalah, tambah masalah


Salah satu program yang direkomendasikan UNAIDS pada KPAN yaitu kampanye penggunaan kondom di masyarakat melalui berbagai macam media promosi, pembagian kondom gratis di tempat umum, ilustrasi penggunaan kondom di sekolah-sekolah, komunitas remaja dan perguruan tinggi serta kemudahan akses membeli kondom.

Terlepas dari tujuan dibentuknya program ini, kondomisasi berdampak sangat negatif di masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang tidak berpendidikan, karena dibalik program ini tersirat sebuah pesan “Ayo semua orang, lakukanlah seks bebas sesukamu, aman kok!” yang justru memfasilitasi seks bebas yang merupakan sarana penularan HIV/AIDS.

Dari berbagai penelitian mengenai kondom, terbukti bahwa kondom tidak dapat mencegah transmisi HIV, hal ini dikarenakan kondom terbuat dari bahan karet (lateks) yaitu suatu hidrokarbon dengan polymerase yang secara struktural memiliki serat dan berpori-pori. Pada mikroskop electron didapatkan diameter tiap pori-pori kondom sebesar 70 mikron atau 700 kali lebih besar daripada ukuran HIV-1 yang hanya berdiameter 0,1 mikron. Oleh karena itu, dengan dalih menjadi penyelamat generasi bangsa ini, ironisnya kondomisasi justru menstimulasi masyarakat untuk berserks bebas dan mempercepat penyebaran HIV/AIDS.

Tidak seperti penyakit-penyakit menular yang lain, HIV/AIDS tidak bisa selesai hanya dengan tinjauan kacamata medis saja melainkan perlu ada pendekatan komprehensif dari sisi moral dan hukum dalam penyelesaiannya. Selama ini, program-program yang ada belum melihat kenyataan bahwa merebaknya kasus HIV/AIDS disebabkan karena bobroknya moral masyarakat (seks bebas, keterlibatan NAPZA). Untuk itu, upaya preventif seharusnya berfokus pada eliminasi praktik seks bebas, media-media pornografi, pornoaksi, restriksi tempat-tempat prostitusi dan sanksi tegas pada pelaku prostitusi dan NAPZA beserta jaringannya. Memang, solusi tersebut terkesan sangat normatif, terlebih tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada industri prostitusi, namun itulah tantangan pemerintah untuk menyediakan pekerjaan substitusi yang lebih terhormat.

Semoga pemberantasan HIV/AIDS di Indonesia menemukan titik cerahnya. Sebagai tenaga kesehatan tentu kita mengenal edukasi ABCD dalam prevensi HIV/AIDS yaitu dimulai dengan Abstinece atau puasa dari kebebasan hubungan seksual, diikuti dengan Be Faithful atau bersikap setia pada pasangan yang diwujudkan dengan komitmen untuk menikah dan pilihan terakhir barulah penggunaan Condom yang dibarengi avoid Drugs (menghindari obat-obat terlarang).


referensi:
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional


Anomalous Fatigue Behavior in Polysoprene," Rubber Chemistry and Technology, Vol. 62, No:4, Sep.-Okt. 1989.

Lytle, C. D., et al., "Filtration Sizes of Human Immunodeficiency Virus Type 1 and Surrogate Viruses Used to Test Barrier Materials," Applied and Environmental Microbiology, Vol. 58, No: 2, Feb. 1992.