Selasa, 02 November 2010

Dokter Ditunggangi, Rakyat Terzolimi


Kontroversi peresepan obat generik versus obat paten sampai saat ini memang menjadi isu kesehatan yang cukup banyak disorot. Supremasi obat paten dimata masyarakat awam dinilai lebih tinggi dibandingkan obat generik yang dianjurkan pemerintah, padahal, komposisi dan khasiat dari kedua obat tersebut sama.

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang bergantung pada jenis obatnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001, masa berlaku hak paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama masa 20 tahun itulah, perusahan farmasi pemegang hak paten memiliki hak eksluksif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan memproduksi dan memasarkan obat serupa, kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten. Penemuan obat paten memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang sangat mahal, sekitar 900 juta dollar AS sampai 1,8 miliar dollar AS. Karena itulah, wajar jika perusahaan obat paten memasang harga yang tinggi.

Sementara obat generik merupakan obat yang diproduksi tanpa merk namun memiliki rumus kimia yang sama dengan obat paten yang di generik-kan.Harga obat generik sangat murah karena pabrik yang memproduksinya tidak perlu melakukan penelitian lagi karena tinggal meniru rumus kimia yang sudah diumumkan secara bebas,dan pabrik manapun boleh memproduksinya.


Namun, pembedaan kedua jenis obat ini justru menuai beragam permasalahan. Sebagai contoh sebuah kasus yang pernah dimuat di harian kompas, seorang dokter meresepkan obat kepada pasiennya yang berobat di rumah sakit umum daerah di Jakarta. Untuk keluhan sinusitisnya, ada enam jenis obat yang harus dibeli di apotek dan dua obat di antaranya diresepkan dengan nama dagangnya. Untuk dua obat bermerek tersebut, yakni Opicef sirup (cefadroxil monohydrate) dan Mucera tablet (ambroxol), pasien itu harus membayar Rp 83.307. Padahal, jika menggunakan obat generik, yakni cefadroxil monohydrate dan ambroxol, ia mendapatkan harga 4,3 kali jauh lebih murah. Dengan menggunakan asumsi harga paling besar dari harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah, ia mestinya hanya mengeluarkan biaya Rp 19.208 untuk mendapatkan obat serupa.

Fenomena yang sangat memprihatinkan, karena ternyata, masih banyak dokter yang meresepkan obat paten padahal tersedia obat generiknya. Hal ini diakibatkan karena dokter-dokter di Indonesia banyak yang “ditunggangi” oleh industri farmasi untuk memasarkan obatnya. Tawaran dari perusahaan obat memang sangat menggiurkan, mereka menawarkan banyak fasilitas, mulai dari biaya ikut seminar, wisata ke luar negri sampai rumah mewah diberikan untuk mempromosikan obat-obat baru ke masyarakat. Betapa ironis, di titik ini kembali dipertanyakan idealisme seorang dokter sebagai agen kesehatan yang membutuhkan uang untuk menghidupi keluarganya, namun diluar sana rakyat miskin tidak mampu menebus obat lantaran kemahalan.

Memang, himbauan bagi para dokter untuk meresepkan obat generik sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Namun realita di lapangan, selain tidak mudahnya pengawasan penggunaan obat generik, juga belum ada mekanisme “reward and punishment” yang jelas bagi para dokter.

Untuk itu, sebagai dokter memang diharapkan kesadarannya untuk meresepkan obat sesuai dengan “kantong pasien”, lebih baik jika memprioritaskan pemilihan obat generik dibanding obat paten. Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik sangat esensial dilakukan para pelaku kesehatan. Di lain pihak, pemerintah perlu membuat regulasi yang lebih rigid mengenai masalah ini, agar rakyat miskin tidak terus-terusan menderita.


Referensi: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar