Selasa, 16 November 2010

Bencana part1: Ini Jenazah Siapa?


Bencana alam tak henti-hentinya menerjang negeri ini, banjir Wasior, Tsunami Mentawai dan Merapi Jogja silih berganti mengisi pemberitaan di berbagai media. Tak heran, rawannya Indonesia untuk terjadi bencana disebabkan posisi Indonesia secara geologi yang terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yakni: lempeng ausralia di selatan, lempeng euro-asia di barat dan lempeng samudra pasifik di timur yang memfasilitasi untuk terjadinya bencana.

Setiap bencana alam yang terjadi tak hanya menimbulkan kerugian harta benda dan infrastruktur, namun juga merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Saat evakuasi, banyak orang yang terpisah dan kehilangan anggota keluarganya. Korban-korban bencana yang ditemukan meninggal saat pencarian seringkali sulit dikenali. 

Proses identifikasi korban bencana memerlukan data ante mortem dan data post mortem. Data ante mortem adalah data-data yang penting dari korban sebelum kejadian atau pada waktu korban masih hidup, termasuk data vital tubuh, data gigi, data sidik jari, dan data kepemilikan yang dipakai atau dibawa. Adapun data post mortem adalah data-data hasil pemeriksaan forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban.
Dalam ilmu kedokteran forensik, ada beberapa teknik untuk membantu mengidentifikasi korban bencana, antara lain:
  1. Karakteristik morfologi, yaitu dengan memperhatikan cirri-ciri umum korban, dan menyocokkannya dengan informasi tentang korban, misal dengan mengukur tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna kulit, ras dan pakaian maupun perhiasan yang digunakan korban.
  2. Sidik jari, didapat dari bagian kulit yang mengalami deskuamasi
  3. Odontologi forensik, yaitu identifikasi identitas korban dari profil gigi. Odontologi forensik, sangat penting pada bencana besar, karena gigi merupakan jaringan terkeras dan paling tahan terhadap proses dekomposisi dan pembakaran, sehingga identifikasi dapat dilakukan.
  4. Identifikasi dari jaringan asal atau sampel, misal, untuk mengidentifikasi saliva, semen, darah yang terdapat disekitar korban berasal dari korban atau pelaku kejahatan.
  5. Individualitas sel, dengan mencocokkan tes terhadap sel tertentu dari korban, misal, sistem ABO pada darah.
  6. Identifikasi dari profil DNA, tes DNA yang mana sampelnya bisa didapat dari sel darah putih, rambut , spermatozoa, dll.
  7. Tato dan anting, maraknya trend tato dan anting yang mengandung makna tertentu dapat membantu proses identifikasi korban.
  8. Identitas dari sisa skeleton, mengidentifikasi korban berdasarkan sisa tulang yang tertinggal, misal, penentuan jenis kelamin korban dari pelvis yang tertinggal, penentuan umur korban dari femur.
  9. Rekonstruksi wajah, rekonstruksi terkomputerisasi, dimana foto skeleton akan “ditempelkan” jaringan secara elektronik.
Proses identifikasi korban merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari manajemen bencana. Keluarga korban memerlukan informasi mengenai kematian korban dan juga untuk dikuburkan serta pelaksanaan ritual-ritual yang berlaku dimasyarakat. Oleh karena itu, seharusnya di setiap wilayah di Indonesia, memiliki tim identifikasi korban bencana (Disaster Victims Identification/DVI). Keberadaan tim DVI di setiap wilayah berisiko bencana sangat penting untuk mengatasi kendala waktu dan transportasi saat terjadi bencana alam (natural disaster) maupun bencana yang disebabkan manusia (man made disaster). Identifikasi korban bencana diperlukan untuk menegakkan HAM, membantu proses penyidikan dan memenuhi aspek legal sipil.

Referensi:
SIMPSON’S FORENSIC MEDICINE 12th ED, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar